Rabu, Juni 28, 2006

perjalanan menenteng bumi di jalan bintang susu

aku ingin marah
aku ingin meradang
aku ingin membobol menghantam-hantam
aku ingin meluapkan banjir geramku
ke kota-kota, gunung-gunung dan ujung langit
sampai samudera meluap penuh kebencianku

tapi kasihan sekali aku
tiada yang cukup membendungku

aku pilih istana megah nan asri di puncak bukit
berharap bisa memungut pagi berdiang di lembah
bobol dia ketika cahayaku tak lagi hangat melindungi
beringsut ketika nyalaku mulai membakar

aku tegakkan batang kayu kuhunjam dalam di tanah
kalau-kalau kepalaku terlalu berat
aku bisa bersandar
tapi kasihan sekali aku
baru saja rambutku kukulai di pucuknya
terbelah batang kayu patah-patah

aku tak bisa bersandar
aku tak bisa berlindung

aku mesti dimana
tidakkah juga aku manusia

aku lihat kupu-kupu hinggap di taman surga
aku silau
sayap-sayapnya merekah seolah berkata
"wahai ksatria, jadilah pelindungku...
maka kemanapun kau pergi kau kan terpuji
kemanapun kau berada kau kan dipuja..."

tapi aku terhina
tapi aku celaka
ketika susunanku berkata
"tidak....
kau sedang berdiri
di bendungan kali yang terus bergetar
karena yang kau alirkan adalah samudera..."

aku merusak fondasinya
aku menggerogoti tiangnya

betapa kasihannya aku
kupu-kupu dengan sayap terkulai di tangan
adalah bendungan retak

...

aku tak mungkin bersandar
aku tak mungkin berlindung
kasihan sekali diriku yang terus berjaga

maka mataku liar memandang menyala-nyala
kusapu jagad raya aku berteriak di jalan susu

"apa yang salah dengan kelemahanku?"

aku tidak minta dilahirkan begini
aku bukan peserta simposium perumusan takdirku
aku hanyalah wayang krucil di pakeliran Kanjeng Gusti
yang harus setiap saat siap dengan tragedi

aku ingin geramku memancar
aku ingin marahku semburat
aku ingin gigi-gigiku berloncatan di jalanan meneriakkan kata-kata pias dan kuyu
biar kemanusiaanku lumayan komplit

...

dan terseok-seok aku berganti-ganti
menang-kalah-menang-kalah
busurku teracung menantang langit
aku berdiri di Arcapada ketika tata surya memalingkan matanya
mereka menatapku
"apa kejadianku..."

maka kutunggangi Garudha Wisnu
kupinjam cakra Khrisna
aku berpacu melesat mengangkangi dunia batara
ada sosok diwajah Chandra
ada teratai ranum dengan matahari berlimpah di aura kelopaknya

bagai Tirta Kamandhanu meresap di pori-poriku
aku bergejolak
jiwaku bernyanyi-nyanyi riang bergoyap tap-tap-tap
"...nirwana...nirwana..."

tapi kasihannya aku
ketika aku meluas menjadi muara semuanya
pantai-pantaiku yang sering kucumbu desir muson
tak memberiku nyiur
tak lagi berpasir putih

nirwanaku merasuk bagai keong menyelusup dibalik butiran pasir
lalu buih-buih laut selatan datang membasahi

aku lunglai
aku mengendap
aku tak bisa lagi geram

...

maka satu-satu aku menjentikkan jemariku memahat semesta
aku berlindung di balik jaket kumal
dengan sekumpulan pundi-pundi sisa perjalanan
lusuh aku berdiri
kusut mukaku
codet dan luka dimana-mana

(ada mata air di padang pasir ini
ada manisnya korma di gurun ini
oh
burung-burung pasti berkicau di suatu tempat
dan onta-onta menjilati anak-anak tuannya
ada cengkerama sanak keluarga
mendendangkan syair-syair Wahabi
...
pasti ketika aku sampai disana
selimut wol akan menggantikan keringatku
dan aku bisa menyelusup sebentar dibalik bantal-bantal itu
mendengarkan celoteh para ibu susu menggunjingkan para saudagar
sampai mataku yang lelah ini terlelap)

...

kuangkat lagi kepalaku
malam penuh badai ini
tak bisa memungutku menjauh dari esok pagi
...

[perjalanan menenteng bumi di jalan bintang susu]
desdemonia - 11:58 11/03/2003

Tidak ada komentar: